Jokowi Akui Peristiwa Pelanggaran HAM Berat Di Masa Lalu
3 min read
Jokowi menerima hasil laporan dari Ketua Dewan Pengarah Tim Penyelesaian Non-Yudisial yang diwakili Menkopolhukam, Mahfud MD di Istana Merdeka pada 11 Januari 2023. Dalam pertemuan itu, Presiden Jokowi mengakui 12 kasus masa lalu sebagai pelanggaran HAM berat. 12 kasus yang diakui Jokowi yang merupakan pelanggaran HAM Berat diantaranya:
- Pembunuhan massal 1965
- Peristiwa talangsari Lampung 1989
- Peristiwa Rumoh Geudong Aceh 1998
- Penghilangan orang secara paksa 1997-1998
- Kerusuhan Mei 1998
- Peristiwa simpang KKA Aceh 3 Mei 1999
- Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003
- Tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II
- Peristiwa wasior dan wamena 2001
- Penembakan minterius (Petrus) 1982-1985
“Dengan hati yang tulus dan pikiran yang jernih, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa. Dan saya sangat menyesal dengan terjadinya pelanggaran HAM yang berat,” Ungkap Jokowi dalam konferensi pers.
Sementara itu, sejumlah korban dan aktivis tetap menyuarakan pengadilan secara hukum bagi kasus-kasus yang telah diakui sebagai pelanggaran HAM berat. Mereka mengklaim bahwa pengakuan kasus saja tak cukup dan percuma, mereka perlu pertanggungjawaban hukum. Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amensty International Indonesia mengatakan bahwa penyelesaian non-yudisial belum cukup untuk menyatakan tuntas pada kasus-kasus pelanggaran HAM.
Respon pemerintah soal penyelesaian secara hukum, pemerintah menegaskan akan melimpahkan kasus beserta berkas-berksnya kepada Jaksa Agung. Sementara, Ifdhal Kasim, wakil ketua tim penyelesaian non-yudisial menegaskan akan ada pemulihan hak yang diberikan pemerintah. Ifdhal menambahkan bahwa pemulihan yang diberikan dalam bentuk ganti rugi secara finansial dan nonfinansial. Selain itu juga, rehabilitasi nama baik dan fisik.
Tanggapan Korban
Salah satu korban tragedi 1965, yang juga Pimpinan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965, Bedjo Untung menyayangkan Jokowi tak mengungkapkan permintaan maaf atas peristiwa yang terjadi di masa lalu. “Harusnya bilang minta maaf, mengapa Jokowi tidak secara langsung mengatakan minta maaf atas tragedi pembunuhan massal tahun 1965? Sepertinya Presiden masih antisipatif terhadap kelompok yang tidak suka”, ujarnya.
Meskipun begitu, Bedjo mengapresiasi Jokowi atas langkah awal yang mengakui peristiwa masa lalu sebagai HAM berat. Namun, Ia tetap mewanti-wanti Presiden untuk menyelesaikan secara hukum. Menurutnya, pengakuan tanpa pemrosesan hukum adalah basa-basi. Bedjo juga mengusulkan agar Presiden merawat kuburan massal yang berserakan dimana-mana dan mendirikan monument sebagai pengingat. Temuan YPKP terdapat 346 lokasi kuburan massal di sejumlah daerah, seperti Jawa Timur, Sumatera Utara, Bandung, Palembang, dan lainnya.
Uchikowati Fauzia selaku ketua paduan suara Dialita yang merupakan kelompok paduan suara anak dari penyintas 1965, menyampaikan bahwa ia dan teman-temannya menangis haru saat mendengar presiden Jokowi mengumumkan 12 kasus pelanggaran HAM berat. Ia mengaku bahwa hal itu ialah moment yang sangat ia nantikan sejak lama. “Yang pertama saya bersyukur kepada Tuhan, akhirnya yang kami tunggu-tunggu itu tiba yakni ungkapan penyesalan atas peristiwa 1965/1966 sebagai peristiwa pelanggaran HAM yang berat. Sebagaimana yang tertuang dalam Keppres Nomor 17 tahun 2022 tentang pemulihan untuk korban dan keluarga, kami merasa penting untuk terus mengawal sampai tuntas,” tuturnya.
Tindak Lanjut Kasus
Berbagai suara dan tuntutan banyak disampaikan oleh tokoh publik soal rekonsiliasi dan langkah tindak lanjut setelah Jokowi mengakui 12 kasus sebagai pelanggaran HAM berat. Ketua KOMNAS HAM, Ahmad Taufik Damanik meminta Jaksa Agung, Sanitiar Burhanudin untuk menindaklanjuti 12 berkas kasus pelanggaran HAM berat. Pelimpahan berkas ini dilakukan setelah KOMNAS HAM menyelesaikan proses penyelidikan.
Selain itu, Gomar Gultom selaku ketua umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) meminta akan Jokowi mengintruksikan jajaran dibawahnya untuk mengapus materi sejarah yang selama ini salah persepsi. Hal tersebut ia sampaikan demi membekali generasi selanjutnya dengan pengetahuan dan fakta yang benar. “Sebagai tindak lanjut atas pernyataan ini, saya mengusulkan dua hal. Pertama, perlunya penghapusan segera berbagai bentuk memorial maupun materi sejarah yang ada selama ini, yang bisa dinilai sebagai pembelokan sejarah dan pengaburan fakta pelanggaran HAM yang terjadi, Pungkas Gomar dalam keterannya.